Kripto dianggap haram – Berdasarkan MUI (Majelis Utama Indonesia), mata uang kripto atau cryptocurrency dianggap “Haram”. Namun perlu dipertegas bahwa Kripto dianggap haram bila dipergunakan sebagai alat jual beli., bukan karena jenis mata uangnya. Selain itu, hukum kripto telah disahkan dalam Forum Ijtima Ulama se Indonesia ke-VII.

Dari hasil musyawarah, ada 3 diktum hukum mengenai hukum cryptocurrency. Pertama ucap Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh, menggunakan cryptocurrency sebagai mata uang adalah haram. Kita bahas berita lanjutannya di Madam Hoki berikut ini.

Lalu, apa alasannya penggunaan Kripto untuk jual beli dianggap haram?

Menurut hasil musyawarah ulama, penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram karena mengandung gharar dan dharar, serta bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.

UU Nomor 7 Tahun 2011 sendiri mengatur tentang mata uang. Di dalam aturan tersebut dijelaskan, alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah uang rupiah. Sehingga, aset kripto bukanlah alat pembayaran. Sementara Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 17 Tahun 2015 mengatur tentang kewajban penggunaan rupiah di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Aturan BI itu menejelaskan, rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kripto diakui sebagai aset atau komoditas Di Indonesia

Aset kripto sebenarnya lebih banyak dikenal sebagai mata uang kripto. Namun demikian, karena tak bisa/belum digunakan sebagai alat transaksi di Indonesia, regulator pun menggunakan istilah aset kripto, bukan mata uang kripto. Meski tak diakui sebagai mata uang, pemerintah mengakui cryptocurrency sebagai aset atau komoditas yang bisa diperdagangkan.

Aturan aset kripto itu tertuang di dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 5 Tahun 2019. Aturan Bappebti tersebut menjelaskan bahwa aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain. Aturan mengenai komoditas sendiri tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011. Pada aturan tersebut dijelaskan, komoditi adalah semua barang, jasa, hak, dan kepentingan lainnya dan setiap derivatif dari komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subyek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif lainnya. Sebagai komoditas, tentu saja aset kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, atau yang lainnya, tidak bisa diberlakukan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Artinya, masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan jual beli dengan aset kripto sebagai nilai tukar.

Baca juga : Berita tentang Bitcoin terkini

Dua fatwa MUI lainnya soal kripto

Selain, fatwa haram penggunaan aset kripto sebagai mata uang. MUI juga mengeluarkan dua fatwa lainnya soal aset kripto. Diktum hukum kedua ditetapkan cryptocurrency sebagai komoditas aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, dan qimar. “Serta tidak memenuhi sil’ah secara syar-i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli,” kata Niam. Meski begitu, kata Niam, tidak semua aset kripto itu haram diperdagangkan. Hal ini dirangkum dalam fatwa ketiga. Dalam diktum hukum yang ketiga, fatwa MUI menetapkan, untuk jenis kripto sebagai komoditas atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying, serta memiliki manfaat yang jelas, sah untuk diperjualbelikan.

Artikel Terkait